1. Sekilas tentang Antropologi, Pendidikan dan antropologi pendidikan.
Disiplin antropologi, sebagaimana yang kita kenal adalah produk peradaban barat yang relatif baru. Di Amerika Serikat misalnya, kuliah antropologi umum yang diberi kredit di College Universitas, diberi di Universitas Vermont itupun baru pada tahun 1886.[1]
Seiring dengan publikasi karya-karya teoritis Auguste Comte, pada tahun 1830, pengaruh sosiologi semakin besar dalam perkembangan antropologi. Dalam waktu singkat, antropologi mulai dipengaruhi teori-teori Darwin serta teori evolusi biologis. Begitu pula metodologi dan teori perbandingan hukum perlahan menerapkan pengaruhnya dalam kajian antropologi. Lebih jauh, melalui karya-karya Lewis H. Morgan dan Edward B. Taylor antropologi berkembang seperti sekarang ini.[2]
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
a. William A. Haviland:
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
b. David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
c. Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Secara umum Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[3]
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Jadi, Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan konsep-konsep dan pendekatan Antropologi.
Objek kajian sosiologi adalah masyarakat, dan kita juga tahu masyarakat sudah pasti berkebudayaan, namun perlu diingat antara masyarakat dan kebudayaan tidak sama, tetapi berhubungan erat. Dalam hal ini masyarakat menjadi kajian pokok sosiologi, dan kebudayaan menjadi kajian pokok antropologi.[4]
Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan. Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan diluar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan social budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.(Imran Manan, 1989).
Seperti kata antropolog, kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang didalamnya meliputi pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat. kebudayaan diyakini sebagai warisan dari orang dewasa kepada anak-anak, bahwa manusi tidak dilahirkan dengan kebudayaan, tapi kebudayaan itu dipelajari oleh manusia sepanjang kehidupannya. Proses belajar itu merupakan salah satu bentuk bawaan sosial yang dimiliki manusia sejak dia dilahirkan. Kebudaayaan dibentuk oleh perilaku manusia dan perilaku itu merupakan hasil persepsi manusia terhadap dunia[5]. Menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.[6]
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakkan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktik pendidikan sebagai satu keseluruhan.[7]
2. Transmisi budaya dan pendidikan.
Dalam kepustakaan antropologi pendidikan ditemukan beberapa konsep yang paling penting, yakni enculturation (pembudayaan/pewarisan), socialization (sosialisasi/pemasyarakatan), education (pendidikan), dan schooling (persekolahan).
Menurut Herskovits, bahwa enkulturasi berasal dari aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain dengan menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya. Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seorang. Enkulturasi terjadi secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi ketika mereka bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya. Bahwa tiap anak yang baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang diwarisi, yang harus dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya masyarakatnya. Kesamaan dari konsep enkulturasi dengan konsep sosialisasi terlihat dari pernyataan Herkovits yang mengatakan bahwa sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasi individu ke dalam sebuah kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok. Menurut Hansen, enkulturasi mencakup proses perolehan keterampilan bertingkah laku, pengetahuan tentang standar-standar budaya, dan kode-kode perlambangan seperti bahasa dan seni, motivasi yang didukung oleh kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan menanggapi, ideologi dan sikap-sikap.
Sedangkan sosialisasi menurut Gillin dan Gillin adalah proses yang membawa individu dapat menjadi anggota yang fungsional dari suatu kelompok, yang bertingkah laku menurut standar-standar kelompok, mengikuti kebiasaan-kebiasaan kelompok , mengamalkan tradisi kelompok dan menyesuaikan dirinya dengan situasi-situasi sosial yang ditemuinya untuk mendapatkan penerimaan yang baik dari teman-teman sekelompoknya.
Dalam proses sosialisasi, penguasaan bahasa bagi anak sangat penting, sebab dengan demikian anak lebih dapat mengemukakan maksud hati dan keinginannya, dan sebaliknya anak pun mengerti apa yang dikehendaki orang lain pada dirinya. Kemudahan ini mengurangi suara tangis sang anak, sebab sebelumnya suara tangis merupakan pernyataan rasa tidak puas yang disebabkan maksud hati tidak bisa difahami orang lain seperti yang diinginkan. Sosialisasi nampaknya berbeda-beda dari golongan sosial dengan perbedaan status ekonomi, misalnya antara keluarga kaya berkecukupan dengan keluarga gelandangan berkekurangan. Pola asuh nuclear family juga berbeda dengan extended family, keluarga kampung berbeda dengan keluarga yang tinggal di kota. Ahli antroplogi yang terkenal karena penelitian pendidikannya adalah Margaret Mead dengan buku laporan penelitian lapangan yang berjudul Growth and Culture (1951) dan Children and Ritual in Bali (1955), Coming of Age in Samoa (1928).
Bagi Herskovits, pendidikan (education) adalah ”directed learning” dan persekolahan (schooling) adalah “formalized learning”. Dalam literature pendidikan dewasa ini dikenal istilah pendidikan formal, informal dan non-formal.
Karangan Margared Mead mengenai pendidikan dalam masyarakat sederhana (1942), dimana ia membedakan antara learning cultures dan teaching cultures atau kebudayaan belajar dan kebudayaan mengajar. Dalam golongan yang pertama, warga masyarakatnya belajar dengan cara yang tidak resmi yaitu dengan berperan serta dalam kehidupan rutin sehari-hari. Dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan untk dapat hidup dengan layak dalam masyarakat dan kebudayaan mereka sendiri. Dalam golongan yang kedua, warga masyarakat mendapat pelajaran dari warga-warga lain yang lebih tahu, yang seringkali dilakukan dalam pranata-pranata pendidikan yang resmi, dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan. Pendidikan non-formal merupakan kegiatan terorganisasi di luar kerangka sekolah formal atau sistem universitas yang ada yang bertujuan untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan tertentu, pengetahuan, sikap-sikap. Pendidikan non-formal memusatkan perhatian kepada perbaikan kehidupan sosial dan kemampuan dalam pekerjaan. Pendidikan non-formal lebih berorientasi terhadap menolong individu-individu memecahkan masalah mereka, bukan pada penyerapan isi kurikulum tertentu. Pengajaran dilakukan melalui kerjasama dengan guru, umpamanya dengan pekerja-pekerja ahli, pekerja sosial, penyuluh pertanian, dan petugas kesehatan.[8]
Persoalan pendidikan yang rumit memicu berbagai tingkat dalam berbagai cara, pentingnya masalah pendidikan hingga para filsuf pertama mengembangkan teori-teori formal yang mengkaitkan pendidikan dengan konsepsi politik serta hakikat manusia, ditingkat yang kurang formal orang tua bertanggung jawab mengembangkan prinsip pengasuhan anak dalam masyarakat serta nilai-nilai anak dimasa depan sebagai individu dan warganegara, Kedua masalah ini mempunyai konflik yang khusus di masyarakat yang kompleks menuntut cara-cara formal untuk menyalurkan perbaharuan tentang kebudayaan serta pentingnya meneliti fungsi pendidikan dalam kebudayaan. Asumsi ini muncul karena frustasi Tolstoy yang menjangkit di dunia pendidikan secara objektif, Tolstoy melihat usaha pendidikan berlangsung secara otomatis yang terlihat dengan tidak mempedulikan sasaran-sasaran serta tujuan-tujuan yang sejati yang terbelenggu oleh pemikiran-pemikiran dan tata cara tradisional, seorang murid telah diabaikan sebagai faktor dalam pemikiran tentang pendidikan. Kegagalan mengenali fakta pokok ini menyuburkan penyimpangan-penyimpangan dan kesalahan konsep yang menjamin kegagalan pendidikan.
Asumsi plato sama dengan yang dirasakan Tolstoy yang menyaksikan penyia-nyiaan bakat serta kurangnya kreatifitas kaum muda dimasyarakat Atena. Hal serupa juga sama yang menyerupai asumsi Jean-Jacques Rousseau yang merasa dirinya harus mencari pandang sepenuhnya baru dan segar untuk menatap keseluruhan proses pendidikan serta nalar yang mendasarinya. John Dewey juga mengajukan pedagogi baru yang didasari psikologi yang nalar. Pandangan Tolstoy tidak tuntas karena lebih menyinarkan akal sehat romantis pragmatis, ad bock atau anti teoritis. Tolstoy mengungkapkan renungan yang cukup mendalam bagaimana seharusnya kita berkarya. Asumsi Tolstoy memakai dua sumber konsepsi philosofisnya tentang kehidupan secara umum dan kesenian secara khusus serta pengalaman praktis yang ia dapatkan dari sekolah anak-anak tani yang didirikannya. Di Yasno-Polyana pengaruh dua sumber ini saling berkaitan anatara satu dengan yang lainnya. Tolstoy memakai anekdok percakapannya dengan salah seorang murid, Fedka tentang hubungan antara seni dengan kebudayaan sebagai titik tolak pengantar karya besarnya dibidang estetika. Pandangan Tolstoy tentangan kehidupan bersifat romantis yang menekankan pentingnya roh manusia yang bebas dihidupkan oleh Tuhan dan diarahkan oleh minat, emosi serta hasrat pribadi. Pandangan Tolstoy sama dengan Rousseau tetapi Tolstoy tetap mengkritik yang pedas terhadap Rousseau dan menolak gagasan-gagasan pendidikan Rousseau. Orang menganggap Rousseau sebagai “sibiang onar”, yang memuja-muja manusia tak beradap dan luhur. Tolstoy memahi adanya prinsip lain yang dominan terhadap pemikiran Rousseau misalnya dalam kontrak sosial kita temukan konsepsi Rosseau tentang kebebasan sosial yang bersemi dari suatu folonte general atau anti-individualistik menurutnya masyarakat ideal mempunyai tujuan untuk mencapai keseimbangan terhadap penekanan individualitas keotoritas sosial yang bernuansa platonic. Asumsi ini yang ditolak oleh Tolstoy menurutnya kebebasan individual merupaka suatu titik tolak yang positif. Gaya penulis Tolstoy luwes nyastra, tidak terikat logika, serta bersifat sentimental, ironis dan sarkastis yang penuh dengan paradoks, dan pernyataan-pernyataan yang bersifat impresionistik yang sangat tajam tentang pendidikan, menurutnya pendidikan mempunyai empat unsur pokok diantaranya:
1. Guru yang merupakan agen utama yang bertujuan mengarahkan dan memikiul tanggung jawab terhadap proses pendidikan.
2. Murid yang menjadi objek upaya pendidikan, yang perilakunya diubah dan dimodifikasi.
3. Bahan pengajaran pengertahuan yang ditanamakan kepada murid.
4. Tujuan, sasaran, cita-cita dan hasil akhir yang diharapkan dari proses pendidikan akhir.
Pemahaman ini merupakan kritikan Tolstoy tentang pendidikan yang ad di Rusia. Ia juga mengkritik tentang pendidikan yang ada di Eropa dan Amerika, baik pendidikan klasik maupun pendidikan yang berkembang pada masa Tolstoy. Menurut Aristoteles Sasaran pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan yang baik. Berbeda dengan asumsi dari Tolstoy yang beranggapan bahwa pendidikan tidak punya sasaran, tujuan dari pendidikan berasal dari proses pendidikan itu sendiri atau disebut dengan pemahaman. Konsep utama menurutnya adalah kebudayaan yang merupakan nilai-nilai masyarakat yang maju yang tetap bertahan meski di cam dengan kritikan-kritikan dan dijadikan sebagai klaim-klaim yang saling bertentangan, kebudayaan tampil sebagai lumbung dan nilai-nilai yang besar.
Rousseau menganggap pendidikan merupakan jalan pembebasan-pembebasan individu dari prasangka-prasangka. Tolstoy tetap tidak setuju dengan pendapat Rousseau, ia tidak menyangkal pentingnya nilai-nilai yang Utilitarian yang tidak sengaja timbul dari pendidikan, tapi dia juga menyetujui bahwa pendidikan merupakan proses membebaskan individu agar berimprovisasi secara kreatif melalui pemahaman. Tolstoy mendekati pendidikan tanpa akhir dan kepastian, menurutnya kebudayaan dijelaskan dengan berbagai konsep. Menurutnya kebudayaan merupakan sebuah prinsip liberar humanistic yang menjelaskan kesetaraan semua manusia dan pentingnya realisasi diri yang tidak mempunyai arah yang pasti bagi kegiatan manusia. Dia melihat ketidak pastian tentang prinsip ini. Hendaknya kita tidak melihat kembali mengenai prinsip pendidikan yang mengarah kepada nilai-nilai tradisional, tapi kita melihat semangat dari kebebasan manusia individu tentang pendidikan yang mempunyai arah sendiri, konsep ini merupakan konsep radikal yang merupakan titik tolak pendidik pragmatis Amerika, tujuan pendidikan dalam pandangan ini dikebumikan menjadi kegiatan yang mempunyai tujuan pragtis yang memiliki dampak yang jelas yang sangat bergantung pada akal sehat
Tugas-tugas pokok guru adalah mencari cara bagaimana menjadikan pengetahuan atau bahan pelajaran pendidikan bermakna bagi murid sehingga persekolahan bermakna bagi siswa. Kebanyakan teori pendidikan menyerahkan tugas-ugas pada guru, tapi dalam skema pendidikan Tolstoy setiap tugas tersebut mempunyai arti khusus, karena ia menolak bahwa belajar merupakan suatu hal yang wajib yang ditanamkan diluar individu atas dasar takut akan hukuman.
Seorang guru menurut Tolstoy dapat memutuskan metoda apa yang dipakai untuk mengajarkan bahan-bahannya, dan mengambil keputusan tentang apa yang akan diajarkan.
Menurut Tolstoy pengetahuan ilmiah merupakan suatu hal yang terpadu. Ilmu pengetahuan sama dengan kebudayaan dimana kebudayaan diambil dan disederhanakan. Tiap disiplin akademik bisa menjadi jalan untuk memahami konsep kebudayaan. Gagasan Tolstoy tentang psikologi murid menurutnya seorang murid merupakan pribadi yang berusia muda yang mempunyai keresahan, ketakutan serta keingintahuan keintelektualan dan imajinasi yang tidak terbatas.
Ada dua cara pengarahan pendidikan menurut psikologi anak yang pertama menimbulkan semangat, minat anak yang di didik. Yang kedua seorang guru memberikan motif-motif yang efektif untuk mengajak anak agar belajar. Sekolah harus mengikuti alur motif-motif ini. Metode ini diterapkan sebagai keyakinan-keyakinan yang bersifat pribadi. Contoh ini mengalami kegagalan tapi ia mencoba mencari metode yang tepat.
Diantara kritik-kritik Tolstoy dipakai pada abad ke-19 tentang kemampuan mencapai kesempurnaan yang tidak terbatas secara otomatis. Bagi Tolstoy pendidikan yang bebas tidak harus diartikan sebagai kehidupan tanpa pendidikan sama sekali. Tolstoy ingin agar diterimanya sebuah tanggung jawab untuk mendidik yang menekankan faktor lingkungan sosial dalam pendidikan. Hal ini juga dipakai oleh para pemikir modern begitu juga para teoritisi zaman sekarang memakai pemikiran Tolstoy tentang pentingnya motifasi intrinsik murid yang berasal kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Tolstoy tidak hanya mereformasikan pendidikan tapi ia juga ingin membangun konsepsi baru yang segar mengenai masyarakat serta nilai individu yang ada didalamnya, baginya teori pendidikan adalah usaha yang memberikan nalar bukan nalar yang mendasari pendidikan, teori pendidikan dianggapnya jaringan-jaringan pernyataan yang membenarkan diri serta menjalankan sebuah system yang masih dangkal, menurutnya pendekatan baru harus didasarkan pada renungan-renungan, analogi, pengamatan dengan kesadaran eksistensial bukan berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah tertata atau logis Pendekatannya yang romantik, dan penuh renungan pandanagnnya tentang pendidikan bukan ilogis bertentangan dengan logika, tapi lebih sering non-logis , tidak mengikuti alur logika yang dicarinyta bukan system pemikiran koheren melainkan renungan kedalam pendidikan.
Salah satu akibat pemikiranya terjadinya kesimpangsiuran defenisi istilah pokok tentang pendidkan, instruksi pengajaran, kebudayaan, pedalogi dan ilmu pengetahuan yang dipakai berulangulang tanpa ada penjelasan sama sekali, hal ini membuat para analis modern marah membaca karyanya , tapi akhirnya mereka sadar bahwa Tolstoy adalah seorang penyair yang mencari panangan baru yang lebih mendalam tentang pendidikan. Filsuf Alfred North whitehead dalam renunganya tentang pendidikan yang sama dengan Tolstoy yaitu tentang menyikapi keterkaitan timbal balik antara cara dengan tujuan dalam pendidikan, ia menunjukan kemampuan pembedaan-pembedaan yang logis konvensional dan menelusuri jalur baru mengenai tujuan dan sasaran dalam pendidikan, gagasanya akhirnya dipetik oleh teoritisi dan dimasukan pada teori-teori progesif baru di dukung oleh bukti-bukti dari ilmu-ilmu social yang baru berkembang.
A. PENUTUP
Antropologi pendidikan bermanfaat mengasah kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, untuk dapat menganalisa, mensintesa dan mengevaluasi topik-topik di sekitar sejarah, pengertian dan ruang lingkup antropologi pendidikan, wawasan teoretik antropologi pendidikan, kontribusi antropologi pada dunia pendidikan, fungsi pendidikan dari kaca mata antropologis, pendidikan dan perubahan sosial, sekolah berbagai organisasi birokrasi, keluarga dan sosialisasi, kelompok sebaya dan sosialisasi, sekolah dan sosialisasi, gender dan sosialisasi, pendidikan orang dewasa, trend homescholling bagi masyarakat Indonesia, pendidikan dan masyarakat serta pendidikan dan tatanan sosial.
[1] William A. Haviland diterjemahkan oleh R. G. Seokadijo, Antropologi, Jakarta : Erlangga,
1988, hal. 9.
[2] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006, hal. 22.
[3] UU SISDIKNAS, asa mandiri. 2009. Hal 2
[4] Siti Waridah Q & J. Sukardi-Isdiyono, Sosiologi Kelas I SMA/MA, Jakarta : Bumi Aksara,
2004, hal. 18-19.
[5] DR. Alo liliweri, M. S. Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya. Yogyakarta: lKis, 2002. Hal.11
[6] Koentjaraningrat. Pengantar antropologi 1. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996. Hal. 72
[8] http// lucky zamzani.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please your comment guys